Wednesday, 3 February 2016

SYI’AH ISNA ‘ASYARIYAH DAN KONSEP IMAMAH

By: M. Zainuddin

Pendahuluan
Ketika dalam kemimpinan Rasulullah saw, umat Islam adalahumat yang satu (ummatan wahidatan) danpeuh dengan semangat perjuangan. Demikian ini sesuai dengan missi beliau sebagi sosok pemimpin yanideal.
Ada tiga aspek keberhasilan Rasul saw. Dalam perjuangannya: 1) sebagai pemersatu umat dalamsatu kesatuan ke-Tuhanan (tauhid al-Ilahi), 2) sebagai pemersatu umat dalam satu kesatuan pemerintahan (tauhid al-hukumah), 3) sebagai pemersatu umat bagi bangsa yang terpecah-pecah dalam berbagai suku dan kabilah (tauhid al-ummah).[1]
Rasul saw, dipanggil Tuhan setelah tugas risalahnya lengkap dan dianggap telah sempurna  sebagi manayagn telah dijelaskandalam al-Qur’an dalam surat al-Maidah:3 “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu…”
Beliau wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada seseorang sahabat pun untuk meneruskan kepemimpinannya (khilafah).[2] Islam sendiri (baca: ajaran) tidak menetapkansistem khusus mengenai kekhilafahan. Persoalan kekhilafahan diserahkan kepada orang yang dipandang memiliki otoritas  untuk memcahkanpersoalan yang dihadapi umat. Atau mereka  yang lebih populer dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi.
Dari sinilah sepeninggal Rasul saw, awal mula timbulnya perselisihan antar umat Islam. Perselisihan tersebut bermjula dari perbedaan tentang “siapa yang behak mendudduki kursi khilafah sepeninggal beliau. Dari perdebatan sengit ini lalu memunculkan polarisasi umat Islam dalam 3 kelompok:
  1.  1.  kelompok Bani Hasyim (Ahlul Bait)
  2.  2.  kelompok Muhajirin (yang dipimpin oleh Abu Bakar  dan Umar)
  3.  3.  kelompok Anshar (yang dipimpin oleh Saad bin Ubadah).
Dalam perkembangan berikutnya ketiga kelompok tersebut lalu menadi partai yang lebih besar. Kelompok pertama berkembang menjadi Syi’ah, kelompok kedua menjadi Sunnah (sering disebut-sebut ahlussunnah waljamaah) dan kelompok ketiga berkembang menjadi Khawarij.[3]
Pengertian Syi’ah
Syi’ah menurut bahasa berarti “kelompok” atau pengikut.[4] Kata syi’ah sebetulnya sudah dikenal di kalangan umat Islam sejak zaman rasul saw. Al-Qur’an banyak menyebutkan kata-kata ini misalnya al-Qashash: 15, as-Shaffat: 83 dan Maryam: 69.
Pada ayat-ayat tersebut syi’ah berarti pengikut atau gologan (yang berlaku untuk umum) misalnya saja pada saat yang sama berosisi dengan Khawarij.[5]
Menurut al-Syahratani, Syi’ah adalah kelompok yang secara khusus menjadi pengikut Ali r.a. dan yang beranggapan bahw keimanan atau kekhilafahan ditentukan nash  dan wasiat baik secara tegas maupun samar. Serta mereka yang beranggapan bahwa keimanan tidak terlepas dari anak keturunan Ali r.a. dan menurut Syi’ah keimanan bukan persosalan kepentingan umum yang dihasilkan dari pemilihan umat, tetapi ia adalahpersoalan dasar dan rukun agama yang tidak boleh diabaiikanoleh para Rasul dan tidak boleh diserahkan oleh umat.[6]
Dalam sejarah, Syi’ah adalha kelompok dalam islamyang muncul paling dini dalam pergumulan politik. Sebagai kelompok kekuatan politik yang sarat dengan ideologi, ia lahir sejak kasus Siffin, tetapi gejala kenampakannya sudah dimulai sejak sepeninggal Rasul saw, yaitu ketika umat Islam dihadapkan pada “siapa yang berhak menduduki kursikekhilafahan sepeninggal Rasul saw.”[7]
Perselisihan umat Islam mengenai haklegitimasi Ah-lul Bait[E1] .[8] Sudah mereda ketika Ali r.a. telahbersedu membaiat Abu Bakar sampai dengan berakhirnya pemerintahan Umar bin Khattab. [9] Tetapi ketika kekhilafahan pindah ke tangan Usman, kelompok Ali r.a. bergejolak lagi akibat  hasutan Abdullah bin Saba’[10] yang memobilisai pendukngnya Ali untuk menuntut hak kekhalifahan. Bahkan Abdullah bin Saba’ secara ekstrim beranggapan bahw Ali r.a adalahTuhan.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Syi’ah terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok[11] danpokok perbedaannya terletakpada dua hal [12]:
  1. perbedaan dalm pokok-pokok ajaran:
Di antara merkea adalah kolopok ekstrim yang berpendirian bahwa iamm adalahornag yang suci (Ma’shum) dan mengangggap kafir kepada ornag yagnmengingkari serta menentang Ali r.a. dan pengikutnya. Ada jug ayagn berpendirian bahwa imam harus adil dan yang mengingkaridiangap salah saja, tidak sampai kafir.
  1. perbedandalam penentuan ismam.
Mereka saling berselisih mengenai imam dari keluarga Ali r.a. sebagian merek mengatakan bahwa imam setelah terbunuhnya al-Husain pindahkepada sudaranya dari ayah yaitu Muhammad  Bin Ali yang  lebih populer dengnasebutan Ibnu Al-Hanafiah. Sebagian lain mengatakan, bahwa imam setelah terbunuhnya al-Husain adalah anak Ali dari Fatimah meski ia belum dewasa,karenaia anak sulung.
Dari perselisihan pendapat tentang  “siapa pengganti imam setelah al-Husain” ini lantas melahirkan skisme dalam tubuh Syi’ah sendiri. Dari pendapat pertama melahirkan kelompok Kaisniyah  dan dari pendapat kedua melahirkan kelompok
Isna ‘Asyariyah.

Syi’ah Isna Asyariyah dan Konsep Imamahnya.
Syi’ah Isna Asyariyah. [13] adalah termasuk bagian  dari sekte Syi’ah Imamiyah,[14] disebut begitu karena sekteersebut beranggapan bahwa pemimpin(imam ) setelah wafatnya nabidiwarkankepada 12 orang: mulai dariAli bin Abi Thalib,kedua puearanya al-Hasan dan al-Husain hingga kepda Muhamad al-Mahdi yang telah mnglingna kuran glebih 260H. danakankembali ke dunia pada akhir zamanuntuk menegakkan keadilan [15] menurut ad_Dihlawi, Syi’ah Isna ‘Asyariyah ini mucul pad athun 225 H. [16]
Sampai kepada Muhammad, saw.  Al-Muntadzar (al-Mahdi), silsilah imam-imam itu terputus. Hal ini karen a imam yang teakhir tidak mempunyai keturunan. Muhammad, saw.  Sewaktu masih kecil hilang di dalam gua yang terdapat di Samarra (Irak). Syi’ah Isna ‘Asyariyah berkeyakina, bahwa imam ini menghilang  utnuk sementara waktu dan akan kembali sebagai al-mahdi yang lagnsung memimpin umat oleh sebab itu ia disebut imam ayagn bersembunyi (al-Imam al-Mustair) atau imam yang dinanti (al-Imam al-Muntadzar). Menurut mereka, selama imam itubersembunyi ia memimpin umat  melalui raja-raja yang memegang kekuasaan dan para ulama’ mujtahid Syi’ah.[17]
Selama masa 70 tahun terhitugn sejak menghilangnya imam (256/869-329/940) para mujtahid merke adalah Usaman bin Said, kemdian diantikan oleh puteranya Abu Ja’far. Abu Ja’far kemudian digantikan oleh Abu al-Qasim bin Ruh. Kemudian Abul Qasim bin Ruh melimpahkannya keapda al-Hasan as-Samiri. Sampai dengan Samiri, para mujtahid kemudian terputus dan as-Samiri menyerahkan urusan ini kepda Tuhan. Periode tujuh puluh tahun (periode yang diwakili oleh para mujtahid atau para ulama) ini disebut sebagai masa “ghaibah kecil”. Kemudain setelah masa ini, sejak tahun 329/940 hingga sekarang, imam berada dalam “ghaibah besar” yang pada akhir zaman nanti akan kembali lagi.[18]
Konsepsi Imamah
Dasar keyakinan Syi’ah adalah bahwa Ali r.a. dan keluarganya merupakan orang yang paling berhak untuk  menjadi khalifah dibanding Abu Bakar, Umar dan Usman, karena Rasulullah saw, telah mewariskan kekhalifahan kepadanya.menurut Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyyah[19] Abu Bakar Umar dan Usman adalah merampas hak Ali r.a. demikian juga khalifah Amawiyah dan Abbasyiah dianggap menggazab kekhalifahan Ali r.a. kelompok sahabat yang  amat cinta kapada Ali r.a. adalah Salman al-Farisi, Abu Zar al-Ghifari, Miqdad bin Aswad. Mereka berpendapat bahwa Ali r.a. adalahlaeeibhberhak menjadi khalifah karena sifat-sifatnya.[20]
Sepeninggal Ali r.a. (41H./661 M), pergolakan politik antara Syi’ah dengan  pendukung Mu’awiyah terus bekelanjutan. Syi’ah terus menuntut hak agar keluarga Ali r.a. (ahl al-bait) tetap menjadi khalifah/imam. Oleh karena itu sepeninggal Ali r.a. mereka mengangkat al-Hasan, puteranya sebagai pengganti hak kekhalifahan. Peristiwa pengangkatan al-Hasan untuk menjadiimam inilah yang kemudian menjadi awal doktrin politik Syi’ah.[21]
Secara rinci, ide dasar keimaman Syi’ah itu meliputi[22]:
  1. Imamah istilah khassebbagai pengnti khakhilafahan adalah merupakanslahstu rukun diantara rukunj-rukun agama yang amat penting dalamislam;
  2. Karena begitu pentingnya (sebagai rukun), maka imam harus dipilh nabi lewat nash, dan seseorang tidak dianggap sebagai imam atas dsar pemilihat umat, sebab umat tidak memiliki otioritas pemilihan;
  3. Karena imam dipilih nabi, makaia mesti ma’shum, seorang suci yang terjaga daridosa (baik dosa besar maupun dosa kecil) seta tidak boleh melakukan kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya (baik ucapan maupn tindakannya) adalah benar;
  4. Bahwa Ali r.a. adalahimam yang telah ditunjuk dan ditetapkanoleh Nabi saw. Sebagai imam sepeninggalnya dengan ketetapan nash yang jelas;
  5. Syi’ah beranggapan, bahwa imamah adalah hak milik anak cucu Ali r.a.
  6. Imamah menduduki temapt kenabian, imam adalah hujjatullah  di bumi, ia menerima wahyu ia berhak menafsirkan nash-nash agam. Memberi petunjuk bagi orang-orang mukmin dan keputusan-keputusannya tidak bisa ditolak. Barangsiapa yang keluar dari keputusan imam, maka ia berhak dibunuh.
Ada empat dasar keonsepsi Syi’ah Isna Asyariah yang amat penting dan populer, yaitu: al-Ishmah, al-Mahdiyah, ar-Raj’ah dan at-Taqiyah. [23]
  1. 1.      Al-Ishmah
Yang dimaksud dengan al-Ishmah adalahkeyakinan terhadap adanya imamyagn terjaga dari perbuatan slah dan dosa (baik dosa besar maupun dosa kecil) selama hidupnya. Mereka seperti juga para nabi tidak pernah berbuata maksiat, tidak pernah salah dan lupa.
  1. 2.      Al-Mahdiyah[24]
Yang dimaksud dengan al-Mahdiyah adalah, keyakinan akan adanya imam yang ditunggu-tugngu, yang akan turun ke bumi pada akhir masa dengan membawa keadilan dan keamanan setelah bumi itu penuh dengan distruksi sosial.
  1. 3.      Ar-Raj’ah
Yang dimaksud dengan ar-Raj’ah adalah keyakinan akan kembalinya nabi Muhammad, saw.  Ke dunia dan semua para imam. Menurut keyakinan mereka Abu Bakar dan Umar pada saat itu juga akan kembali dan mereka akan diadili karena mereka dianggap musuh (perampas hak kekhalfahan Ali r.a.) Lalu setelah itu semuanya mati danakan hidup kembali di hari kiamat.
  1. 4.      Al-Taqiyah
Yang dimaksud dengan at-Taqiyah adalah sikap menyembunykanuntuk sementara. Ajaranini dianggap yang fundamental dan merupakan bagian agama yang harus disembunyikan dari manusia. Di saat mereka ada di dalam kekuasaanorang lain, berpura-pura menampakkan ketaatannya dan secara sembunuyi tetap mentaati imamnya. Kemudian setelahkuat, mereka megnadakan perlawanan, bahkan revolusi terhadp penguasa yang dianggap zalim (bughat). Ajaran tersebut lebih mengarah kepad asikap politis dan strategi untuk melawan pihak yang dianggap musuh.
Dotrin keimaman (imamah) Syi’ah hampir semuanya didasarkan atas dalil-dalil keabshan tujuan-tujuanya. Banyak ayat-ayat atau hadits-hadits yag diwa’wilkan untuk membenarkan kekuasaannya. Doktrin al-Mahdi misalnya, didasarkan atas hadis yang tidak dhabit sandnya, atau dha’if.[25] Demikian pula doktrin ar-Raj’ah dan at-Taqiyah didasrkan al-Qur’an yang dita’wilkan secara keliru. Misalnya kata dabbah dalam suratt Ali Imran: 26 dita’wilkan sebagai Ali r.a.  dan kata tuqat dalam surat an-Nisa: 14 dijadikan sebagai doktrin asasi.dan masih banyk lagi ayat-ayat yang dita’wilkan secara menyimpang.
Kejian kritis mengenai Syi’ah ini banyak dungkap oleh Ahmad Syalabi,, dan Ahmad Amin. [26] Salabi misalnya, merasa tidak pernah mampu untuk mendapat ajaran-ajran Syi’ah, khususnya ajran-ajaran Yhudi yang memang sengaja ingin memperdaya Islam. Bahkan menurutnya, hampir semuanya bukan dari ajaran Islam yang tidak bisa diterima. Dan Ali sendiri memang sebagaimana pengakuannya tidak pernah menerima amanat dari Rasul saw, mengenai pengganti kekhalifahan sepeninggalnya. Hal ini terbukti dengan ucapannya ketika ditanya oleh Abdullah bin al-Kawa’ mengenai amanat Rasul itu. Ali r.a. mengatakan:
“Sesungguhnay aku adalahorang pertama yang beriman kepada Rasul saw, aku bukan orang pertam kali yang mendustakannya, tidak ada amanat untukku dari Rasul saw, seandainya ada niscaya akan kutinggalkan saudara dari suku Tamim dan suku ‘Adi.[27]
Tentang kebenaran menganai masuknya penetrasi ideologi dari luar itu (yang kemudian mengaku sebagai Syi’ah) adalah terbukti adanya pengakuan Ja’far as-Shadiq (salah seorang imam besar Syi’ah Isna Asyariyah) terhadap kekhalifahan para sahabat Rasul saw, demikian pula Zaid binAli bin al-Hasan (Seorang tokoh Zaidiyah) yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Oleh sebab itu pendapat Imamiyah adalah pendapat yang diintrodusir dari orang yang mengklaim diri sebagai Syi’ah. Orang yang pertama kali memasukkan ide itu adalah Abdullah bin Saba’, seorang yang beranggapan bahwa keimanan Ali ditentukan oleh Nash. Lantas ide itu diartikulasikan oleh para pengikutnya dan menjadi doktrin yang populer.[28]
Dalam mensikapi ide imamiyah ini. Syalabi lebih melihat kepada perrpektif kesejarahan yang direkayasa oleh orang-orang yang sengaja memperdaya Islam saat itu. Menurutnya, ide-ide menganai keimanan Syi’ah (seperti: al-Ishmah, al-Mahdiyah, ar-Raj’ah dan at-Taqiyah) semuanya adlah palsu dan rekaan orang-orang yang mengklaim diri Syi’ah yang jauh dari ide-ide Islam. Penetrasi ideologis yang palng dominan adalah terdapat pada Syi’ah Ismailiyah kemudian Isna ‘Asyariyah, baru kemudian Zaidiyah.[29]
Ahmad Amin juga bependapat, bahwa doktrin kemaksuman para imam (Ishmatul aimmah) adalah aneh dan tidak sesai dengan Islam dan doktrin al-Qur’an, demikian pula tidak ocok dengan sifat-sifat dan naluri manusia. Ide ar-Raj’ah dihembuskan oleh Abudullah bin Saba’ yang beranggapan terhadap kembalinya Rasul saw, ke dunia. Kemudian Ja’far al-Ja’fi (yang disebut oleh Abu Hanifah sebagai pendusta) menganggap Ali r.a. akankembali ke dunia.[30]
Memang, sebagaimana yagndikatakanoleh Amad Amin, bahwa ide-ide keimanan Syi’ahj ituada simbiosisnya denganide orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam surat al-Baqarah: 80 misalnya, orang Yahudi mengatakan bahwa mereka tidak akan tersentuh oeh api neraka kecuali hanya beberapa harisaja. Orang Syi’ah juga beranggapan bahwa nerakadiharamkan baginya kecuali sedikit saja. Kemudian orang-orang Nasrani mengatakan bahwa nisbah imam terhadap Allah seperti nisbah al-Masih terhadapnya. Mereka berkata bahwa Lahut menyatu dengan Nasut dalamimam dan bahaw risalah kenabian tidak pernah putus selamanya, maka barang siapa yang menyatu dengan Lahut ia adalah nabi. Demikian pula tenang penjisiman Tuhan dan hulul serta  ide mengenai reinkarnasi, [31]uga doktrin al-Masihsebagai al-Mahdi sudah dikenal dalam Kristen.
Seperti jug diakui oleh J. Wellhausen, bahwa akidah Syi’ah yang bersumber dari orang-orang Yahudi lebihdominan daripada yang bersumber dari orang-orang Persi sendiri.[32] Doktrin al-Ishmah juga terkait dengan doktrin infallibillity dalam dunia Kristen Katholik yang sudah dikenal sebelumnya.[33]
Pengaruh ideologiasing dalam Syi’ah ini memang bisa dipahamijika ditilik dari perspektif kesejarahannya. Mayoritas penganut Syi’ah berada di Irak dan Irandansangat panjang usianya, sementara kondisi masyarakat daerah tersebut sangat heterogen, berbagai agama mucnul di daerah tersebut, misalnya: Zoroaster (Mani, Mazdak dan Ibn Dishan) serta Yahudi dan Nasrani. [34]dengan warisan agama inilah terjadi saling mempengaruhi. Dan ternyata Yahudi dan Kristen lebih dominan.
Kesimpulan
Daribeberapa pembahasan yang telah dikemukaknitu dapat disimpulkan  antara lain sebagai berikut:
  1. Syi’ah, sebagai kelompok kekuatan politik yang sarat dengan ideologi, muncul sejak kasus Shiffin;
  2. Syi’ah terpecah dalam tiga kelompok besar : Imamiyah (yang terdiri dari 24 bagian), Zaidiyah (yang terdiri dari 6 bagian dan terkenal paling moderat), dan Ghulat (terdiri dari 15 bagian yang dikenal paling ekstrim);
  3. Syi’ah Isna Asyariah adalah bagian dari Syi’ah Imamiyah yang paling terkenal dan terbesar, danmenjadi mazhab resmi negara di Iran yang masih eksis hingga kini;
  4. Disebut Syi’ah Isna ‘Asyariyah karena keyakinannya terhadap 12 imam, mulai dari Ali r.a. hingga Muhammad, saw.  Al-Mahdi yang menghilang untuk sementara danmasih memimpin umat melalui para raja dan para ulama mujtahid Syi’ah
  5. Ide-ide Isna Asyariyah yang terpenting adalah ide imamah, yaitu al-Ishmah, al-Mahdiyah dan al-Taqiyah.
  6. Ide-ide tersebut dipengaruhi oleh ide-ide asing (Yahudi dan Nasrani) yang dijadikan sebagai legitimasi kekuasaannya (status quo).
DAFTARPUSTAKA
Ahmad Amin, Fajr al-Islam,  (Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi) 1969
__________, Dhuha al-Islam, Juz III (Mesir: Maktabah an-Nahdhah, tt.)
Ahmad Syalabi, Mansu’at at-Tarikh al-Islami, Juz III (Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1978)
Asy’ari, al-Maqalat al-Islamiyin wakhtilaf al-Mushallin, Juz I, (Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1969)
Asqalan, al-Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Juz VIII, al-Maktabah as-Salafiyah.
Abu Bkar Aceh, Syi’ah Rasionalisme dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1980)
Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: 1986/1987)
Dihlawi, ad. Mukhtashar at-Tuhfah al-Isna Asyariyah, (Turki: Isik Kitabevi, 1981)
Fazlurrahman, Islam, Terjemahan Ahsin Muhammad, saw.  (Bandung: Pustaka, 1981)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jilid I (Jakarta: UI Press, 1984)
Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, manhajun wa tathbiqun, Juz III (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt)
Julius Willhausen, The Religio Political Factions in Early Islam, MELPC, 1975
Khaldun, Ibn. Muqaddimah,  Bairut: Dar al-Fikry, tt)
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal a’lam, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1975)
M. Zainuddin, Proses Terbentuknya Khilafah Khulafa’ ar-Rasyidin, (Surabaya: Majalah Aula, 1988)
Muhamad Fuad Abul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras lil alafdz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt)
Nourouzzaman, As-Shiddieqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perpektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985)
Syahrastani, ar, Al-Milal wan Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
Yousoef Souyb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran Sekte Syi’ah, (Jakarta: al-Husna, 1982)
Zahabi, az, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, Dar al-Haditsah, 1976

[1] M. Zainuddin , Proses Terbentuknya Khilafah Khulafaurrasyidin, dalam Majalah Aula, September 1988, hlm. 67
[2]  Diceritakan dalam hadits, bahwa ketika nabi hendakwafat,beliau hendak berwasiat kepada para shahabat, teteapi Umar segera menolaknya karena al-Qur’an dan al-Sunnah dianggap sudah cukup untuk menjadipeganganumat.penolakan Umar ini dianggap mengakibatkan perdebatan para sahabat di asisi nagi, hingga akhirnya nabi mengusirnya. Dan penolakan inilah yang lantas oleh Syi’ah dianggap sebagai wasiat akan pengukuhan Ali sebagai penggantinya. (Tentang wasiat ini lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari. Juz. VIII hal. 132).
[3] Nouruozzaman Shiddieqi,  Syi’ah dan Khawarif dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 9
[4] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa  al-A’lam,  Dar al-Masriq, 1975 hlm. 411)
[5] Lihat : J. Wllhausen, The Religio-Political Factins in Early Islam, NHPC, hal. 95. Pada saat itudinamai pula “Alawiyah” sebagai lawan dari “Usmaniyah’, tetapi segera dipauskan Abu Bakar Aceh, Syi’ah Rasionalisme dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1980), hal. 11.
[6] As-Syahrastani, Al-Milal wan – Nihal, (Beirut: Dar al-Fikri,tt) hal. 146.
[7]  Ad-Dilawi menyebutkan, bahwa laqab Syi’ah mucnul pada tahun  37 H. (Ad-Dihlawi, Muhtashar at-Tuhfah al-Isna ‘Asyariyah,  (Turki: Isik Kitabavi, 1981) hal. 5
[8] Pengertian Ahlul Bait padagilirannya berkembang lebihluas. Bukan hanya keturunan al-Hasan dan al-Husain dari perkawinan Ali r.a. dengan Fatimah. Tetapi juga dari istri lainnya seperti Ibnu Hanafiah dari keturunan Bani Hanifah. Bahkan ada yang memperluas lagidarisemua keturunan BaniHasyim. Oleh sebab itu mereka memasukkan keturunan Ja’far bin Abi Thalib dan al-Abbasseebagai orang-orang yang berhak menjadi imam (lihat: Nourouzzaman Sidieqi, op. Cit. Hal. 6: sebagaimana yang dikutip dariW. Montgomery Watt).
[9] Ali r.a. baru memberikan baiat Abu Bakar  6  bulan kemudian, setealah wafatnya Fatimah (lihat: M. Zainuddin, “proses terbentuknya khilafah khulafaurrasyidin dalam AULA., 1988, hal. 68)
[10] Asy-Syahrastani, op. Cit. Hal. 174. Doktrin politik Abdullah bin Saba’ kemudian berkembang menjadi kelompok resmi dengan sebutan Saba’iyah yang dinisbatkan dengan namanya. Dan kelompok Saba’iyah tersebut dalm klasifikasi Syi’ah Ghulat. Meski ada yang berpendapat bahwa Abdulah bin Saba’ sebetulnya tidak terdapat dalam sejarah,tetapi ia tidaklebih dari tokoh yang dibuat oleh penulis Barat (lihat misalnya Abu Bakar Aceh, op. Cit. Hal. 15-16)
[11] Al-Asy’ari merinci Syi’ah dalam 45 bagian dari tiga kelompok besar, yaitu Imamiyah (yang terdiir dari24 bagian), Zaidiyah, (yang terdiri dari 6 dan yang dikenal paling moderat) dan Syi’ah Ghulat yang terdiri dari 15 bagian dikenal paling ekstrim (lihat Al-Asy’ari, Magalatal-Islamiyyin wakhtilaf al-Mushallin, juz I, Mesir: Maktabah an-Nahdah. 1993)
[12] Ahmad Amin Dhuhal Islam,  Juz III, (Mesir Maktabah an-Nahdhah, tt). Hal. 210, danlihat : Az-Zahabi, at-Tafsir wl Mufassirun, Juz II, Daar al-Kutub al-Haditsah, 1976, hal. 4-5)
[13]  Al-Asy’ari menyebutkan “Al-Qathiyya”  Karena merekea memutuskan kematian Musa bin Ja’far bin Muhammad, saw.  Bin Yin bin Ali (Musa al-Kazim) (lihat:  al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyah Wakhtilaf al-Mursalin, Juz I hal. 90). Secara berurutan 12 iamam itu adalah (1) Ali bi Abi Thalib, (2) Al Hasan bin Ali, (3) Al Husain bin Ali (4) Ali Zainul Abidin, (5) Muhammad, al-Baqhir, (6) Ja’far as-Shiddiq, (7) Musa al-Kazim, (8) Ali ar-Ridho (9) Muhammad, saw.  Al-Jawad, (10) Ali al Hadi, (11) Hasan al-Anshari, (12) Muhammad, al-Mahdi (al-Muntadzar)
[14] Sekte Imamiyah dinisbatkandengankata imam, karna persoalanyagndibicarakan berkisar kepda keimaman (khilafah setelah nabi). Sekte ini berpendapat bahw Ali r.a. adalah seorang yang berhak menduduki khalifahsepenigngal nabi deganalasan nash, baik langsug maupun tidak langsung. Dan mereka beranggapan bahwa keimaman harus dipegang olehanak keturunan Ali r.a. dariFatimah dan bahwa persoalan keimaman (imamah) adalah persoalan dasar agama (ushul ad-diin). Abu Bakar dan Umar dianggap sebagai meng-ghasab secara zalim hak kekhilafahan Ali r.a. (Ahmad  Amin, Dhuhal Islam,  Juz. III, Maktabah an-Nahdhah, tt. Hal. 212).
[15] Syi’ah Isna ‘Asyariyah adlah Syiah yang paling terkenal dan terbesar di kalangan sekte-sekte dalam Syi’ah tersebut menadi mazhab resmi negara Iran demikian juga menjadi mazhab besar di Iran. Hingga kini sekte tersebut masih eksis (Syalabi, Mausu at-Tarikh al-Islami, Juz III, Maktabah an-Nahdhah, tt. Hal. 212).
[16]  Ad-Dihlawi, Mukhtashar at-Tuhfah al-Isna Asy’ariyah, (Turki: Isik Kitabevi, 1981) hal. 21
[17] Harun Nasution, Islam ditinjiau dari berbagai Aspeknya, Juz. I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1980) hal. 99
[18] Nourouzzaman Shiddieqi, Syi’ah dan Khawarif, dalam Perpektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 71-72
[19] Syi’ah Zaidiyah megnakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, msekiAli dianggap yang lebih utama dari mereka. Mereka juga tidak mengkafirkan para sahabat rasul saw, (lihat: As-Syahrastani, Al-Milal wan-Nihal, hal. 155 dan Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, hal. 182.
[20]  Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, hal. 208-209
[21]  Lihat: al-Asy’ari, Maqalat, hal. 89: as-Syahrastani al-Milal, hal. 146; Ibnu Khaldun, Muqaddimah,  Dar al-Fikry tt. Hal. 170-171; Ibrahim Madkur, Fil Falsafah al-Islamiyah, Manhajun wa Tathbiquhu, juz. III, (Mesir Dar al-Masarif), hal. 62.
[22] Fazlurrahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, saw.  (Bandung : Pustaka, 1984), hal. 249.
[23] Az-Zahabi, Tafsir wl Mufashirun, hal. 8-9 dan lihat: Ahmad Amin, Dhuhal Islam, hal. 225-254, Syalabi Maushu’at, hal. 78.
[24] Disebutkan bahwa orang pertama yang memiliki keyakinan al-Mahdiyah tersebut adalah Kaisan, budak  Ali r.a. dan pendiri sekte Kaisaniyah.
[25] Hadits mengenai al-Mahdi diriwayatkan oleh at-Turmudzi. Abu Daud dan Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.
[26] Lihat: Ahmad Amin, Dhuhal Islam, Jilid III, Pembahasan mengenai Syi’ah, dan Ahmad Syalabi, Mausu’at at Tarikh al-Islami, juz II, Mesir, Makabah an-Nahdhah, 1978, kemudian kajian lebih mendetail mengenai ajaran-ajarannya, baca juga ad-Dihlawi, Mukhashar at-Tuhfah al-Isna Asyariyah, Turki: Isik Kitabevi, 1981.
[27] Ahmad Syalabi, Mausu’at, hal. 150-151; 174-175
[28] Ibid, hal. 175
[29] Ahmad Syalabi, Mausu’at, hal. 179
[30] ibid
[31] Ahmad Amin, Fajrul Islam, hal. 276, 277
[32] Ibid
[33] Yoesoef Sou Yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran Sekte Syi’ah, (Jakarta: 1982), hal. 47 Lihat juga Fazlurrahman, Islam, hal. 251
[34] Ahmad Amin, Fajrul Islam, Bairut Dar al-Kutub, al-Arabi, 1969, hal. 171.

Sumber: http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/11/syiah-isna-asyariyah-dan-konsep-imamah/

Kisah Nikah Mut’ah Penganut Syi’ah

Nikah mut’ah adalah pernikahan tanpa batas dengan menerabas aturan-aturan syariat yang suci, mut’ah ini telah melahirkan banyak kisah pilu. Tidak jarang pernikahan ini menghimpun antara anak dan ibunya, antara seorang wanita dengan saudaranya, dan antara seorang wanita dengan bibinya, sementara dia tidak menyadarinya. Di antaranya adalah apa yang dikisahkan Sayyid Husain Al Musawi, seorang tokoh Syi’ah murid Ayatullah Ruhullah Al Khumaini yang kemudian bertaubat dan masuk ke Sunni.
Ia menceritakan dalam kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh:
Kisah Pertama
Seorang perempuan datang kepada saya menanyakan tentang peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Dia menceritakan bahwa seorang tokoh, yaitu Sayyid Husain Shadr  pernah nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun yang lalu, lalu dia hamil dari pernikahan tersebut.
“Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa waktu saya dikarunia seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa dia hamil dari hasil hubungannya dengan Sayyid Shadr, karena pada saat itu tidak ada yang nikah mut’ah dengannya kecuali Sayyid Shadr.”
“Setelah anak perempuan saya dewasa, dia menjadi seorang gadis yang cantik dan siap untuk nikah.”
Namun sang ibu mendapati bahwa anaknya itu telah hamil. Ketika ditanyakan tentang kehamilannya, dia mengabarkan bahwa Sayyid Shadr telah melakukan mut’ah dengannya dan dia hamil akibat mut’ah tersebut. Sang ibu tercengang dan hilang kendali dirinya lalu mengabarkan kepada anaknya bahwa Sayyid Shadr adalah ayahnya. Lalu dia menceritakan selengkapnya mengenai pernikahannya (ibu si wanita) dengan Sayyid Shadr dan bagaimana bisa hari ini Sayyid Shadr menikah dengan anaknya dan anak Sayyid Shadr juga?!
Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya. Sesungguhnya kejadian seperti ini sering terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mut’ah dengan istri bapaknya.
Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya. Kami membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)
Kalaulah mut’ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan mut’ah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat.
Kisah Kedua
Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui di kantornya. Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki menemui kami, mereka memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Sayyid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”
Imam Al Khaui melihat lagaknya, ia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Dimana kamu tinggal?”
Maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, kemudian tinggal di Najaf semenjak sebulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian berarti Anda adalah seorang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Imam berkata, “Mut’ah menurut kami adalah halal, tetapi haram menurut kalian.”
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
Maka sang imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
Si pemuda menatap Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah (berbohong untuk membela diri).
Kedua pemuda itu pun berdiri dan pergi. Saya meminta izin kepada Imam Al Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahu bahwa penanya adalah seorang Sunni dan sahabatnya adalah seorang Syi’i (pengikut Syiah). Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakan kepada rujukan agama, yaitu Imam Al Khaui.
Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah berontak sambil mengatakan, “Wahai orang-orang durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak perempuan kalian?”
Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk pindah kepada madzhab Ahlus Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan tentang dalil-dalilnya.

10 TIPS DAN TRIK JITU BERDIALOG DENGAN SYI'AH, INSYA ALLAH !

~JURUS 1: “NABI DAN AHLUL BAIT”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Apakah Anda mencintai dan memuliakan Ahlul Bait Nabi?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan mencintai Ahlul Bait merupakan pokok-pokok akidah kami.” Kemudian tanyakan lagi: “Benarkah Anda sungguh-sungguh mencintai Ahlul Bait Nabi?” Dia tentu akan menjawab: “Ya, demi Allah!”

Kalau Syi’ah benar-benar mencintai Ahlul Bait, seharusnya mereka lebih mendahulukan Sunnah Nabi, bukan sunnah dari Ahlul Bait beliau…

Lalu katakan kepada dia: “Ahlul Bait Nabi adalah anggota keluarga Nabi. Kalau orang Syi’ah mengaku sangat mencintai Ahlul Bait Nabi, seharusnya mereka lebih mencintai sosok Nabi sendiri? Bukankah sosok Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama daripada Ahlul Bait-nya? Mengapa kaum Syi’ah sering membawa-bawa nama Ahlul Bait, tetapi kemudian melupakan Nabi?”
Faktanya, ajaran Syi’ah sangat didominasi oleh perkataan-perkataan yang katanya bersumber dari Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak keturunan mereka. Kalau Syi’ah benar-benar mencintai Ahlul Bait, seharusnya mereka lebih mendahulukan Sunnah Nabi, bukan sunnah dari Ahlul Bait beliau. Syi’ah memuliakan Ahlul Bait karena mereka memiliki hubungan dekat dengan Nabi. Kenyataan ini kalau digambarkan seperti: “Lebih memilih kulit rambutan daripada daging buahnya.”

~JURUS 2: “AHLUL BAIT DAN ISTERI NABI”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Siapa saja yang termasuk golongan Ahlul Bait Nabi?” Nanti dia akan menjawab: “Ahlul Bait Nabi adalah Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak-cucu mereka.” Lalu tanyakan lagi: “Bagaimana dengan isteri-isteri Nabi seperti Khadijah, Saudah, Aisyah, Hafshah, Zainab, Ummu Salamah, dan lain-lain? Mereka termasuk Ahlul Bait atau bukan?” Dia akan mengemukakan dalil, bahwa Ahlul Bait Nabi hanyalah Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak-cucu mereka.

Bagaimana bisa cucu-cucu Ali yang tidak pernah melihat Rasulullah dimasukkan Ahlul Bait, sementara istri-istri yang biasa tidur seranjang bersama Nabi tidak dianggap Ahlul Bait?…
Kemudian tanyakan kepada orang itu: “Bagaimana bisa Anda memasukkan keponakan Nabi (Ali) sebagai bagian dari Ahlul Bait, sementara istri-istri Nabi tidak dianggap Ahlul Bait? Bagaimana bisa cucu-cucu Ali yang tidak pernah melihat Rasulullah dimasukkan Ahlul Bait, sementara istri-istri yang biasa tidur seranjang bersama Nabi tidak dianggap Ahlul Bait? Bagaimana bisa Fathimah lahir ke dunia, jika tidak melalui istri Nabi, yaitu Khadijah Radhiyallahu ‘Anha? Bagaimana bisa Hasan dan Husein lahir ke dunia, kalau tidak melalui istri Ali, yaitu Fathimah? Tanpa keberadaan para istri shalihah ini, tidak akan ada yang disebut Ahlul Bait Nabi.”
Faktanya, dalam Surat Al Ahzab ayat 33 disebutkan: “Innama yuridullahu li yudzhiba ‘ankumul rijsa ahlal baiti wa yuthah-hirakum that-hira” (bahwasanya Allah menginginkan menghilangkan dosa dari kalian, para ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya).
Dalam ayat ini istri-istri Nabi masuk kategori Ahlul Bait, menurut Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan selama hidupnya, mereka mendapat sebutan Ummul Mu’minin (ibunda orang-orang Mukmin) Radhiyallahu ‘Anhunna.

~JURUS 3: “ISLAM DAN SAHABAT”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Apakah Anda beragama Islam?” Maka dia akan menjawab dengan penuh keyakinan: “Tentu saja, kami adalah Islam. Kami ini Muslim.” Lalu tanyakan lagi ke dia: “Bagaimana cara Islam sampai Anda, sehingga Anda menjadi seorang Muslim?” Maka orang itu akan menerangkan tentang silsilah dakwah Islam. Dimulai dari Rasulullah, lalu para Shahabatnya, lalu dilanjutkan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, lalu dilanjutkan para ulama Salafus Shalih, lalu disebarkan oleh para dai ke seluruh dunia, hingga sampai kepada kita di Indonesia.”
Kemudian tanyakan ke dia: “Jika Anda mempercayai silsilah dakwah Islam itu, mengapa Anda sangat membenci para Shahabat, mengutuk mereka, atau menghina mereka secara keji? Bukankah Anda mengaku Islam, sedangkan Islam diturunkan kepada kita melewati tangan para Shahabat itu. Tidak mungkin kita menjadi Muslim, tanpa peranan Shahabat. Jika demikian, mengapa orang Syi’ah suka mengutuk, melaknat, dan mencaci-maki para Shahabat?”

Kaum Syi’ah mencaci-maki para Shahabat dengan sangat keji. Tetapi mereka masih mengaku sebagai Muslim. Kalau memang benci Shahabat, seharusnya mereka tidak lagi memakai label Muslim…
Faktanya, kaum Syi’ah sangat membingungkan. Mereka mencaci-maki para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum dengan sangat keji. Tetapi di sisi lain, mereka masih mengaku sebagai Muslim. Kalau memang benci Shahabat, seharusnya mereka tidak lagi memakai label Muslim. Sebuah adagium yang harus selalu diingat: “Tidak ada Islam, tanpa peranan para Shahabat!”

~JURUS 4: “SEPUTAR IMAM SYI’AH”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Apakah Anda meyakini adanya imam dalam agama?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan imamah menjadi salah satu rukun keimanan kami.” Lalu tanyakan lagi: “Siapa saja imam-imam yang Anda yakini sebagai panutan dalam agama?” Maka mereka akan menyebutkan nama-nama 12 imam Syi’ah. Ada juga yang menyebut 7 nama imam (versi Ja’fariyyah).

Lalu tanyakan kepada orang Syi’ah itu: “Mengapa dari ke-12 imam Syi’ah itu tidak tercantum nama Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali? Mengapa nama empat imam itu tidak masuk dalam deretan 12 imam Syi’ah? Apakah orang Syi’ah meragukan keilmuan empat imam mazhab tersebut? Apakah ilmu dan ketakwaan empat imam mazhab tidak sepadan dengan 12 imam Syi’ah?”

Mengapa dari ke-12 imam Syi’ah itu tidak tercantum nama Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali?…
Faktanya, kaum Syi’ah tidak mengakui empat imam madzhab sebagai bagian dari imam-imam mereka. Kaum Syi’ah memiliki silsilah keimaman sendiri. Terkenal dengan sebutan “Imam 12” atau Imamah Itsna Asyari. Hal ini merupakan bukti besar, bahwa Syi’ah bukan Ahlus Sunnah. Semua Ahlus Sunnah di muka bumi sudah sepakat tentang keimaman empat Imam tersebut. Para ahli ilmu sudah mafhum, jika disebut Al Imam Al Arba’ah, maka yang dimaksud adalah empat imam mazhab rahimahumullah.

~JURUS 5: “ALLAH DAN IMAM SYI’AH”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Siapa yang lebih Anda taati, Allah Ta’ala atau imam Syi’ah?” Tentu dia akan menjawab: “Jelas kami lebih taat kepada Allah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa Anda lebih taat kepada Allah?” Mungkin dia akan menjawab: “Allah adalah Tuhan kita, juga Tuhan imam-imam kita. Maka sudah sepantasnya kita mengabdi kepada Allah yang telah menciptakan imam-imam itu.”

Sikap ideologis kaum Syi’ah lebih dekat kemusyrikan karena lebih mengutamakan pendapat imam-imam Syi’ah daripada ayat-ayat Allah…
Kemudian tanyakan ke orang itu: “Mengapa dalam kehidupan orang Syi’ah, dalam kitab-kitab Syi’ah, dalam pengajian-pengajian Syi’ah; mengapa Anda lebih sering mengutip pendapat imam-imam daripada pendapat Allah (dari Al Qur’an)? Mengapa orang Syi’ah jarang mengutip dalil-dalil dari Kitab Allah? Mengapa orang Syi’ah lebih mengutamakan perkataan imam melebihi Al Qur’an?”
Faktanya, sikap ideologis kaum Syi’ah lebih dekat ke kemusyrikan, karena mereka lebih mengutamakan pendapat manusia (imam-imam Syi’ah) daripada ayat-ayat Allah. Padahal dalam Surat An Nisaa’ ayat 59 disebutkan, jika terjadi satu saja perselisihan, kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikap Islami, bukan melebihkan pendapat imam di atas perkataan Allah.

~JURUS 6: “ALI DAN JABATAN KHALIFAH”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Menurut Anda, siapa yang lebih berhak mewarisi jabatan Khalifah setelah Rasulullah wafat?” Dia pasti akan menjawab: “Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi Khalifah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa bukan Abu Bakar, Umar, dan Ustman?” Maka kemungkinan dia akan menjawab lagi: “Menurut riwayat saat peristiwa Ghadir Khum, Rasulullah mengatakan bahwa Ali adalah pewaris sah Kekhalifahan.”
Mengapa ketika sudah menjadi Khalifah, Ali tidak pernah menghujat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, padahal dia memiliki kekuasaan?…

Kemudian katakan kepada orang Syi’ah itu: “Jika memang Ali bin Abi Thalib paling berhak atas jabatan Khalifah, mengapa selama hidupnya beliau tidak pernah menggugat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman? Mengapa beliau tidak pernah menggalang kekuatan untuk merebut jabatan Khalifah? Mengapa ketika sudah menjadi Khalifah, Ali tidak pernah menghujat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, padahal dia memiliki kekuasaan? Kalau menggugat jabatan Khalifah merupakan kebenaran, tentu Ali bin Abi Thalib akan menjadi orang pertama yang melakukan hal itu.”

Faktanya, sosok Husein bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma berani menggugat kepemimpinan Dinasti Umayyah di masa Yazid bin Muawiyah, sehingga kemudian terjadi Peristiwa Karbala. Kalau putra Ali berani memperjuangkan apa yang diyakininya benar, tentu Ali radhiyallahu ‘anhu lebih berani melakukan hal itu.

~JURUS 7: “ALI DAN HUSEIN”
Tanyakan ke orang Syi’ah: “Menurut Anda, mana yang lebih utama, Ali atau Husein?” Maka dia akan menjawab: “Tentu saja Ali bin Abi Thalib lebih utama. Ali adalah ayah Husein, dia lebih dulu masuk Islam, terlibat dalam banyak perang di zaman Nabi, juga pernah menjadi Khalifah yang memimpin Ummat Islam.” Atau bisa saja, ada pendapat di kalangan Syi’ah bahwa kedudukan Ali sama tingginya dengan Husein.

Kemudian tanyakan ke dia: “Jika Ali memang dianggap lebih mulia, mengapa kaum Syi’ah membuat peringatan khusus untuk mengenang kematian Husein saat Hari Asyura pada setiap tanggal 10 Muharram? Mengapa mereka tidak membuat peringatan yang lebih megah untuk memperingati kematian Ali bin Abi Thalib? Bukankah Ali juga mati syahid di tangan manusia durjana? Bahkan beliau wafat saat mengemban tugas sebagai Khalifah.”
Faktanya, peringatan Hari Asyura sudah seperti “Idul Fithri” bagi kaum Syi’ah. Hal itu untuk memperingati kematian Husein bin Ali. Kalau orang Syi’ah konsisten, seharusnya mereka memperingati kematian Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu lebih dahsyat lagi.
Kalau orang Syi’ah konsisten, seharusnya mereka memperingati kematian Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu lebih dahsyat lagi…

~JURUS 8: “SYI’AH DAN WANITA”
Tanyakan ke orang Syi’ah: “Apakah dalam keyakinan Syi’ah diajarkan untuk memuliakan wanita?” Dia akan menjawab tanpa keraguan: “Tentu saja. Kami diajari memuliakan wanita, menghormati mereka, dan tidak menzalimi hak-hak mereka?” Lalu tanyakan lagi: “Benarkah ajaran Syi’ah memberi tempat terhormat bagi kaum wanita Muslimah?” Orang itu pasti akan menegaskan kembali.

Kemudian katakan ke orang Syi’ah itu: “Jika Syi’ah memuliakan wanita, mengapa mereka menghalalkan nikah mut’ah? Bukankah nikah mut’ah itu sangat menzalimi hak-hak wanita? Dalam nikah mut’ah, seorang wanita hanya dipandang sebagai pemuas seks belaka. Dia tidak diberi hak-hak nafkah secara baik. Dia tidak memiliki hak mewarisi harta suami. Bahkan kalau wanita itu hamil, dia tidak bisa menggugat suaminya jika ikatan kontraknya sudah habis. Posisi wanita dalam ajaran Syi’ah, lebih buruk dari posisi hewan ternak. Hewan ternak yang hamil dipelihara baik-baik oleh para peternak. Sedangkan wanita Syi’ah yang hamil setelah nikah mut’ah, disuruh memikul resiko sendiri.”

Kaum Syi’ah tidak memberi tempat terhormat bagi kaum wanita. Praktik nikah mut’ah marak sebagai ganti seks bebas dan pelacuran…
Faktanya, kaum Syi’ah sama sekali tidak memberi tempat terhormat bagi kaum wanita. Hal ini berbeda sekali dengan ajaran Sunni. Di negara-negara seperti Iran, Irak, Libanon, dll, praktik nikah mut’ah marak sebagai ganti seks bebas dan pelacuran. Padahal esensinya sama, yaitu menghamba seks, menindas kaum wanita, dan menyebarkan pintu-pintu kekejian. Semua itu dilakukan atas nama agama. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

~JURUS 9: “SYI’AH DAN POLITIK”
Tanyakan ke orang Syi’ah: “Dalam pandangan Anda, mana yang lebih utama, agama atau politik?” Tentu dia akan berkata: “Agama yang lebih penting. Politik hanya bagian dari agama.” Lalu tanyakan lagi: “Bagaimana kalau politik akhirnya mendominasi ajaran agama?” Mungkin dia akan menjawab: “Ya tidak bisa. Agama harus mendominasi politik, bukan politik mendominasi agama.”
Lalu katakan ke orang Syi’ah itu: “Kalau perkataan Anda benar, mengapa dalam ajaran Syi’ah tidak pernah sedikit pun melepaskan diri dari masalah hak Kekhalifahan Ali, tragedi yang menimpa Husein di Karbala, dan kebencian mutlak kepada Muawiyah dan anak-cucunya? Mengapa hal-hal itu sangat mendominasi akal orang Syi’ah, melebihi pentingnya urusan akidah, ibadah, fiqih, muamalah, akhlak, tazkiyatun nafs, ilmu, dll. yang merupakan pokok-pokok ajaran agama? Mengapa ajaran Syi’ah menjadikan masalah dendam politik sebagai menu utama akidah mereka melebihi keyakinan kepada Sifat-Sifat Allah?”
Ajaran Syi’ah terjadi ketika agama dicaplok (dianeksasi) oleh pemikiran-pemikiran politik. Akidah Syi’ah mirip dengan konsep Holocaust Zionis internasional…
Faktanya, ajaran Syi’ah merupakan contoh telanjang ketika agama dicaplok (dianeksasi) oleh pemikiran-pemikiran politik. Bahkan substansi politiknya terfokus pada sikap kebencian mutlak kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap merampas hak-hak imam Syi’ah. Dalam hal ini akidah Syi’ah mirip sekali dengan konsep Holocaust yang dikembangkan Zionis internasional, dalam rangka memusuhi Nazi sampai ke akar-akarnya. (Bukan berarti pro Nazi, tetapi disana ada sisi-sisi kesamaan pemikiran).

~JURUS 10: “SYI’AH DAN SUNNI”
Tanyakan kepada orang Syi’ah: “Mengapa kaum Syi’ah sangat memusuhi kaum Sunni? Mengapa kebencian kaum Syi’ah kepada Sunni, melebihi kebencian mereka kepada orang kafir (non Muslim)?” Dia tentu akan menjawab: “Tidak, tidak. Kami bersaudara dengan orang Sunni. Kami mencintai mereka dalam rangka Ukhuwah Islamiyah. Kita semua bersaudara, karena kita sama-sama mengerjakan Shalat menghadap Kiblat di Makkah. Kita ini sama-sama Ahlul Qiblat.”
Kemudian katakan ke dia: “Kalau Syi’ah benar-benar mau ukhuwah, mau bersaudara, mau bersatu dengan Sunni; mengapa mereka menyerang tokoh-tokoh panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, istri-istri Nabi (khususnya Aisyah dan Hafshah), Abu Hurairah, Zubair, Thalhah, dan lain-lain? Mencela, memaki, menghina, atau mengutuk tokoh-tokoh itu sama saja dengan memusuhi kaum Sunni. Tidak pernah ada ukhuwah atau perdamaian antara Sunni dan Syi’ah, sebelum Syi’ah berhenti menista para Shahabat Nabi, selaku panutan kaum Sunni.”

Kalau Syi’ah benar-benar mau bersaudara dengan Sunni, mengapa mereka menyerang tokoh panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman dan istri-istri Nabi?…
Fakta yang perlu disebut, banyak terjadi pembunuhan, pengusiran, dan kezaliman terhadap kaum Sunni di Iran, Irak, Suriah, Yaman, Libanon, Pakistan, Afghanistan, dll. Hal itu menjadi bukti besar bahwa Syi’ah sangat memusuhi kaum Sunni. Hingga anak-anak Muslim asal Palestina yang mengungsi di Irak, mereka pun tidak luput dibunuhi kaum Syi’ah.

Demikianlah “10 Jurus Dasar Penangkal Kesesatan Syi’ah” yang bisa kita gunakan untuk mematahkan pemikiran-pemikiran kaum Syi’ah. Insya Allah tulisan ini bisa dimanfaatkan untuk secara praktis melindungi diri, keluarga, dan umat Islam dari propaganda-propaganda Syi’ah. Wallahu a’lam bis-shawaab.

Rekomendasi: Bacalah buku “Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah” karya Prof Dr Ali Ahmad As-Salus, Penerbit Pustaka Al Kautsar, Jakarta.

Sumber: http://indonesia-menolak-syiah.blogspot.com/2014/05/10-tips-dan-trik-jitu-berdialog-dengan.html
-----