Sunday, 12 April 2015

Perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah.

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah
 
2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka). 


6.      Ahlussunnah         : Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah                     : Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma'’hum, seperti para Nabi.

7.      Ahlussunnah         : Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah                     : Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai'at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8.      Ahlussunnah         :  Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.
Syiah                     : Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.

9.      Ahlussunnah         : Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a)      Bukhari
b)      Muslim
c)      Abu Daud
d)      Turmudzi
e)      Ibnu Majah
f)       An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Syiah                     : Kitab-kitab Syiah ada empat :
a)      Al Kaafi
b)      Al Istibshor
c)      Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d)      Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah). 

10.  Ahlussunnah         : Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah                     : Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11.  Ahlussunnah         : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Syiah                     : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12.  Ahlussunnah         : Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah                     : Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain. Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait. 

 Keterangan           : Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri. Berlainan dengan Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.

13.  Ahlussunnah         : Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.
Syiah                     : Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14.  Ahlussunnah         : Khamer/ arak tidak suci.
Syiah                     : Khamer/ arak suci.

15.  Ahlussunnah         : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.
Syiah                     : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16.  Ahlussunnah         :  Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Syiah                     : Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.
(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17.  Ahlussunnah         : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.
Syiah                     : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18.  Ahlussunnah         : Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Syiah                     : Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.

19.  Ahlussunnah         : Shalat Dhuha disunnahkan.
Syiah                     : Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).
 
Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).  Sengaja  kami  nukil  sedikit saja,  sebab apabila kami nukil
seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.
Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap).
Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu).
Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah.
Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat teratasi.
Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita.
Semoga Allah selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. Amin.

Sumber: http://www.albayyinat.net/jwb5tb.html

Tuesday, 7 April 2015

Jilbab adalah budaya bangsa Indonesia



Sejarah mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di Indonesia belum diketahui secara pasti, ranah mengenai sejarah pasti lahirnya dan perkembangan hijab di Indonesia juga belum banyak tersentuh dan tidak banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang mengaku sebagai hijabers dan desainer dari hijab itu sendiri.

Diperkirakan sekitar tahun 1400 M atau 6 abad yang lalu, Sulthanah Sri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu yang memerintah kerajaan Samudra Pasai hingga tahun 1427 M, Sulthanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam Shah Johan Berdaulat yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1675 M dan Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688 M) sudah berjilbab, meski jilbab mereka terlihat masih belum sempurna dan masih berupa selendang atau kain yang dijadikan sebagai kerudung.

Hal ini terlihat pada lukisan yang dibuat oleh pemerhati Sejarah Aceh sekaligus pelukis kelahiran Aceh Utara, Sayeed Dahlan Al Habsyi. Dalam lukisannya, ia menggambarkan kedua Ratu tersebut (Ratu Nihrasyiah dan Ratu Safiatuddin) memakai baju lengan panjang dengan kerudung.
Buku yang ditulis oleh Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (A. Hasjmi) berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu” halaman 206, memperkuat lukisan Sayeed Dahlan.
Hasjmi menerangkan, dalam tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muham­mad Said tahun 1683 M), rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, keheranan mereka jadi bertambah setelah sebelumnya terkagum-kagum melihat Banda Aceh yang cantik dan permai, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan Agama Islam.

Peneliti Sejarah Islam dari International Islamic University Malaysia (IIUM), Alwi Alatas juga menerangkan hal yang sama, ia menemukan ilustrasi pakaian wanita Aceh yang tertutup rapat.
“Buku Denys Lombard, 'Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)', pada halaman 365 ada ilustrasi 'an Achein woman' yang jilbabnya cukup rapat. Lombard menyebutkan bahwa gambar itu diambil dari naskah Peter Mundy, tahun 1637”, terang Alwi, Jum’at 19/04/2013.


Pada masa perkembangannya, sekitar tahun 1800-1900 an, kita sudah banyak mendapati Muslimah yang sudah memakai jilbab secara tertutup, seperti Nyai Achmad Dahlan beserta pengurus Nasyiatul Aisiyah Muhammadiyah yang dikuatkan dengan foto-foto mereka dalam buku Api Sejarahnya Ahmad Mansur Suryanegara halaman 422 dan 424.
Sama halnya Cut Nyak Dhien dengan kerudungnya, meski dalam lukisan dan fotonya, ia tidak digambarkan sebagai wanita yang berjilbab, namun dalam foto saat ia ditangkap oleh pihak Belanda menunjukkan Cut Nyak Dhien mengalungkan sebuah selendang di lehernya yang diperkirakan selendang itu berfungsi sebagai kerudung.

Rahmah El Yunusiyyah, yang di dalam foto terlihat sangat menutup auratnya dengan jilbab panjang dan baju yang tidak ketat, bukan hanya sekedar memakai kerudung tetapi benar-benar memakai hijab yang sempurna seperti yang disyariatkan. Begitu pula, Teungku Fakinah seorang mujahidah asal Aceh yang pada tahun 1873 turun dalam peperangan melawan agresi Belanda juga digambarkan sebagai wanita yang berjilbab.
Ada juga orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala. Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah. (G.F Pijper, Fragmenta Islamica : Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, 1987, hlm. 18).

Kemudian kenapa masih ada Muslimah dan pejuang Muslimah yang tidak berjilbab? Apakah karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk menutupi seluruh auratnya?. Menurut peneliti sejarah Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Muhammad Isa Anshory, M.PI., hal ini dikarenakan masih sangat sulitnya pejuang Muslimah untuk mengakses banyak kitab sedangkan kitab Fikih yang dipakai stagnan (itu-itu saja, red).

komite kongres perempuan indonesia“Karena pejuang Muslimah dulu sangat sulit mengakses kitab-kitab, kitab Fikih yang dipakai stagnan, hanya berupa kitab shalat, puasa dan lainnya, tidak seperti sekarang. Dulu Muslimah yg memakai penutup kepala dan kelihatan sedikit rambutnya bahkan sudah dianggap sebagai wanita terbaik pada jaman itu”, terangnya saat mengisi kajian tentang Sejarah Islam Indonesia, Surakarta, Kamis 18/04/2013.
Sehingga, jika menarik dari sejarah dan melihat penggambaran mengenai pakaian muslimah Indonesia pada saat itu, sudah dipastikan hijab merupakan identitas para mujahidah Nusantara.

Revolusi Jilbab


Sejarah mengenai jilbab di Indonesia juga tidak terlepas dari sejarah perjuangan untuk menerapkan dan memakainya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rahmah El Yunusiyyah yang pada tahun 1935 mewakili kaum ibu Sumatera Tengah untuk mengikuti Kongres kaum Perempuan di Batavia.
Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, masih dalam kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.

Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa hak kita sebagai Muslimah untuk berhijab pernah dicabut oleh pemerintah pusat. Peristiwa ini berawal dari para siswi berjilbab di SPG Negeri Bandung yang hendak dipisahkan pada lokal khusus, mereka langsung memberontak atas perlakukan diskriminatif terhadap jilbab mereka. Melihat hal ini, ketua MUI Jawa Barat segera turun tangan hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1979.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah.

Saat itu memang tengah gencar-gencarnya penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Para Muslimah banyak yang hengkang dari studi demi konsisten untuk jalankan syariat. Mereka yang diusir dari sekolah karena jilbabnya, sampai membawa perkara ini ke pengadilan, bahkan, mungkin untuk yang pertama kalinya, keputusan tersebut berujung pada revolusi jilbab dan mengundang protes dari ribuan mahasiswa dan pelajar berjilbab di berbagai kota besar yang turun ke jalan.

Sejak terjadinya gelombang revolusi tersebut, keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut larangan tentang pemakaian jilbab sebelumnya oleh pemerintah pusat.
Meski sejarah Hijab Indonesia, terutama pra Indonesia merdeka, belum banyak tersentuh tapi sebagai Muslimah Indonesia kita tetap harus mempertahankan syari’at yang sudah diturunkan oleh Allah SWT., terlebih setelah kita kaji lebih dalam, ternyata hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia.

Copy, edit and paste dari Sumber: http://thisisgender.com/hijab-indonesia-sejarah-yang-terlupakan/